Hi, everyone?
Masih sehat dan bahagia?
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana sudah mengundang I Wayan Wardika, SST.Par selaku Founder Tegal Dukuh Camp, Taro, Bali untuk berbincang tentang pengembangan desa wisata di Bali dan recovery tourism.
Bli Wayan yang 12 tahun berada di kapal pesiar betul-betul berniat untuk meninggalkan pekerjaan asyik di bidang wisata yang dijalaninya.
Pria founder kebun kunang-kunang di Taro itu kembali ke desa dan mengembangkan potensi desa menjadi desa wisata. Dan ia berhasil.
Buktinya, desa yang dibinanya berhasil menjadi juara satu pada lomba desa wisata Kemenparekraf RI dan mendapat penghargaan bantuan pengembangan desa serta hadiah uang tunai 70 juta.
Jika kalian hadir pada acara Kotekatalk-109 itu dan melihat rekaman video kecantikan desa, pastinya bisa menjawa pertanyaan "Mengapa desa Taro yang menjadi juara?" Betul-betul serasa di surga dunia. Jadi program "Di Indonesia aja" akan mulus dengan kehadiran desa wisata seperti di sana.
Tapi, mengembangkan desa wisata tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, lho.
Pada tahun 2009, alumni Australia-Indonesia Youth Exchange membangun komunikasi untuk memetakan team yang memiliki pengalaman, transportasi, jasa guide, jasa kuliner, toko dan lainnya, untuk berkolaborasi. Namanya saja mengembangkan, semua digali. Mulai dari SDM (manusia), SDA (alam) sampai SDB (budaya).
Kemudian sejak 2020, di mana corona meluluhlantakkan ekonomi dan wisata dunia, membuat desa terkena dampaknya. Mulai dari WFH sampai travel from home, membuat desa kurang dikunjungi alias sepi.
Mantan ketua Pokdarwis 2019-2020 itu harus banyak bergerak bersama tim. Bagaimana, ya, membangkitkan wisata desa? Ada deh, niat, kiat dan usahanya. Yang sudah hadir saat zoom Sabtu lalu pasti bisa mendapatkan beberapa tips darinya. Salah satunya, inovasi dengan tetap mengedepankan kelestarian alam.
Nah, sekarang jadi nggak heran kalau desa wisata yang dahulu "mainstream" di sana, akhirnya banyak mencuatkan wisata "anti maintream" seperti hiking, trekking, cycling, organic farm, ladang kunang-kunang dan farm stay.
Nah, yang ngimpi ketemu kunang-kunang karena sudah jarang ditemui di sekitar tempat tinggal kita dibanding 10-20 tahun yang lalu, ke Taro saja. Di sana masih banyak! Sebabnya karena pupuk kimia belum banyak digunakan di sana untuk pertanian.
Orang luar negeri masih terpesona melihat keindahan sawah kita, apalagi di Bali. Terassiringnya, kuning padinya, merupakan tempat wisata yang mengedepankan capitalizing resources. Belum ke sana? Nabung dan lingkari kalender. Berangkat!!!
Masih tentang Bali, dari Gianyar, Koteka akan mengajak kalian ngobrol panjang tentang desa wisata Sudaji di Buleleng. Nama Sudaji berasal dari kata Suda dan Aji, yang berarti Suda : Bersih, dan Aji atau Ajara. Desa Sudaji merupakan desa yang sangat tua (pra desa) di mana konon desa ini dulu sekali, bernama 'Sari Aji'. Sayang, mimin kurang info mengapa namanya berubah seperti itu dan siapa yang memiliki idenya? Ada yang tahu?
Mengapa pak Zanzan mendirikan OmUnityBali? Apa saja yang sudah dilakukan pria dalam mengembangkan desa Sudaji yang merupakan 1 dari 50 desa wisata terbaik RI? Apa hambatan yang dihadapi dan kemajuan yang sudah diraih?
Untuk mengulas tentang jawaban bapak KS Zanzan, kami ajak kalian untuk hadir pada Kotekatalk-110 pada:
Bagi yang tertarik tentang pengembangan desa wisata Sudaji dan kebangkitan wisata di Bali secara keseluruhan, silakan mendaftar dan kami tunggu Sabtu.
Semoga saja kalian yang ada di desa atau sudah meninggalkan desa kalian, terinpirasi untuk membangun desa dengan cara yang sederhana menjadi sempurna.
"Pergi ke Bogor, jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita bangkitkan pariwisata Indonesia." (Sandiaga Uno, Kotekatalk-83, 2 April 2022)
Salam Koteka. (GS)