Hi, everyone, apa kabar?
Masih sehat dan bahagia, bukan.
Sabtu lalu Mimin sudah mengajak kalian jalan-jalan ke Banyuwangi. Kompasianer Asita DK yang suka jalan-jalan dan menulis buku traveling sudah banyak membagikan rahasia kecantikan kota yang berseberangan dengan Bali.
Rupanya cerita tentang asal muasal Banyuwangi sangat menarik. Kata mbak Asita, bermula dari kisah Sri Tanjung dari Blambangan. Kota Oseng yang juga disebut kota Santet itu menyimpan sejarah mengapa kota disebut Banyuwangi. Ternyata karena waktu Sri Tanjung dituduh suaminya telah selingkuh dengan raja dan dibunuh, air sungai di mana ia dibuang, baunya wangi. Kalau baunya tidak sedap berarti betul adanya bahwa Sri ternoda. Nyatanya, suami Sri Tanjung berteriak "Banyu wangi, banyu wangi ..." yang berarti banyu atau air dalam bahasa Jawa, harum atau wangi. Wangi adalah lambang kesucian.
Jika ditanya bagaimana caranya dari Jakarta ke sana, mbak Asita menyebut beberapa alternatif: dengan pesawat Rp 2, 5 juta PP, atau kereta api Rp 250 ribu sekali jalan, atau bus khusus seharga Rp 550.000 (tiba di tempat). Nah, pilih mana? Bagi kalian yang ada di Bali, tinggal menyeberang dengan ferry. Harganya pun tidak mahal kira-kira Rp 10.000.
Saat sudah sampai, silakan menikmati tempat wisata heboh seperti Gunung Ijen, di mana tambang belerang dan api warna biru bisa dinikmati wisatawan. Karena jarak tempuhnya jauh, kira-kira 3 jam dengan jalan kaki seperti yang dialami mbak Asita, barangkali ada teman-teman yang kurang fit tapi ngotot pengen sampai ke atas dengan segala halang rintangnya. Tentu saja ada solusi. Sekarang ini sudah ada jasa angkut trolley Rp 800.000 pp. Dengan begitu, pekerja tambang yang banting setir menjadi sopir dorong itu akan memperpendek jarak menjadi 1 jam saja. Satu trolley akan dibantu 3 personil, yang bergantian mendorong wisatawan.
Turun dari gunung, disarankan untuk mampir ke desa Oseng. Di sana suasananya masih alami. Di mana, musik lesung masih lestari dan masih banyak orang yang makan sirih sehingga gigi, bibir dan lidahnya merah. Ditambahkan tarian Gandrung, yang ternyata terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia itu, akan menyambut para wisatawan rombongan. Gandrung Sewu biasa digelar dalam sebuah festival di bulan Oktober atau November. Oh iya, selain tarian Gandrung ada tarian Seblang dari Banyuwangi, yang disebut sebagai tarian mistis.
Tahu kan Kemenpar lagi gencar mempromosikan paket desa atau kampung wisata di seluruh Indonesia? Sehingga selama pandemi, program di Indonesia aja menjadi sukses. Nah, untuk tujuan desa wisata ini, biasanya satu group dikenai 3 juta atau Rp 150.000 untuk setiap orang , dengan total peserta 20. Wah asyik ya, jadi ngimpi mimin ngadain Kotekatrip di sono. Ada yang mau?
Selain itu, taman nasional Baluran adalah tempat yang bagus untuk dikunjungi. Di mana ada rusa, monyet dan mangrove. Kembali ke alam dengan flora dan fauna pasti juga seasyik berkumpul bersama manusia.
Pulau Merah juga menjadi obyek yang menarik. Namanya saja merah, meriah, euy!
Lantas babagan kuliner, mbak Asita yang walaupun sudah lansia tapi semangat jalan-jalannya luar biasa ini membuat kita ngiler saat menceritakan apa saja yang bisa kita cicipi selama di sana. Coba, deh. Ada yang namanya Rujak Soto. Itu makanan campur-campur, ada rujak cingur, ada babat, usus, paru ... Harganya saja cuma Rp 20.000. Rasanya mak nyus! Ada lagi Sego Tempong, Sego Cawuk dan masih banyak lagi. Siap-siap kenyang dan nagih....
Menurut pengamatan mbak Asita yang baru saja reunian bersama kawan-kawan lama di sana, Banyuwangi menjadi tempat wisata wisatawan lokal yang transit dari Surabaya, Bali dan Jakarta.
Masih banyak obrolan menarik tentan Banyuwangi yang disampaikan dalam Kotekatalk-117, Sabtu lalu. Untuk lebih lengkapnya, kita bisa membaca buku mbak Asita tentang ini yang menurut rencana akan dirilis Januari 2023 nanti. Siap-siap membacanya, ya.
Baiklah. Masih tentang kecintaan kita pada Indonesia yang tambah memukau dunia dengan gelaran G-20 di Bali. Seri Wonderful Indonesia kali ini masih mengangkat Jawa Timur, yakni Tulungagung.
Adalah Ednadus Harjaka Setiawan yang menjadi peserta camp Kotekatrip di Arjuna, Bogor Sabtu lalu. Memulai karir sebagai blogger sejak 2013 dan beberapa tahun ini menjadi Kompasianer Debutan.
Cowok yang dulu sering bergelut di dunianya graphis itu suka banget jalan-jalan. Nggak heran sebelum nge-trip bareng Koteka, ia sudah terlibat dengan camp di Tulungagung. Nah, itulah sebabnya, ia akan menceritakan bagaimana rasanya kemah di candi Urung. Eh, kemah di candi? Nggak takut ada yang nunggu? Bagaimana dengan kegiatan selama di sana? Apa bedanya dengan camp di Arjuna? Apa manfaat mengikuti kemah di Tulungagung? Bagaimana Ednadus bisa terjaring sebagai peserta? Apa syarat dan kewajiban menjadi peserta? Apa pula follow up dari kegiatan tersebut? Bagaimana gambaran tempat wisata di sana yang bisa direkomendasikan? Barangkali saja kita akan lewat dan hendak mampir. Sudah nyicil info, dong.
Untuk tahu jawaban lengkapnya, Mimin undang kalian semua untuk hadir secara online di Kotekatalk-118 pada:
Jika kalian yang nggak hadir di Kompasianival dan kalian yang tertarik dengan kota ini, kami tunggu kehadiran kalian, ya.
"Ke Bogor jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana." (Sandiaga Uno, Kotelatak-83, 2 April 2022).
Link zoom akan dibagikan di WA dan Telegram Group Koteka. Jumpa Sabtu.
Salam Koteka. (GS)